16 September 2013

Kekuatan Rakyat Kalahkan Nafsu Naikan Tarif RSUD

Hiero Bokilia

SEJAK draf Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Kenaikan Tarif Layanan Kesehatan RSUD WZ Johannes Kupang disosialisasikan awal Juli lalu, penolakan publik datang bertubi-tubi. Penolakan atas rencana kenaikan tarif pelayanan itu dilakukan atas alasan mendasar yakni rencana menaikkan tarif dilakukan di tengah minimnya upaya perbaikan kualitas layanan kesehatan di rumah sakit milik Pemerintah Provinsi NTT itu. Alasan mendasar lainnya yakni, momentumnya tidak tepat, di mana masyarakat sedang kesulitan memikul beban kebutuhan hidup akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Namun, reaksi penolakan publik itu tak menyurutkan langkah Pemprov NTT dan manajemen RSUD Kupang mendorong dibahasnya Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) di DPRD NTT.
Dinamika pembahasan di Dewan sepertinya tak memberi harapan bahwa Ranperda kenaikan tarif itu bakal ditolak oleh wakil rakyat. Sangat mungkin terjadi, Dewan dengan menutup mata dan telinga terhadap kondisi sosial masyarakat, mengetuk palu setuju.
Kabar mengenai pasien ditolak, pasien ditelantarkan, dan buruknya pelayanan kesehatan yang terus saja dikeluhkan pasien, adalah buah dari semua amburadulitas itu. Menaikkan tarif di tengah semua kebobrokan tersebut jelas merupakan pilihan yang sakit.
Namun desakan rakyat agar Pemprov NTT membatalkan rencana kenaikan tarif pelayanan di RSUD WZ Johannes Kupang, akhirnya mendapat respons positif.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT dr Stef Bria Seran secara mengejutkan mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan manajemen RSUD WZ Johannes dan Gubernur NTT Frans Lebu Raya. Secara tegas Bria Seran mengatakan, tarif RSUD WZ Johannes Kupang tidak akan dinaikkan sebelum pelayanan di rumah sakit milik Pemprov NTT tersebut diperbaiki dan ditingkatkan. "Perbaiki dulu pelayanan, baru bisa naikkan tarif. Tarif belum bisa dinaikkan," tegas Bria Seran kala itu.
Pernyataan Bria Seran memang tidak pernah disangka-sangka. Di tengah nafsu manajemen RSUD WZ Johannes dan Pemprov NTT mendorong penaikan tarif, dia malah bersuara berbeda. Pernyataan Bria Seran seakan menampar muka manajemen RSUD WZ Johannes dan Pemprov NTT. Pernyataan itu disambut gembira masyarakat yang selama ini tak henti-hentinya mengeluhkan buruknya pelayanan rumah sakit. Pernyataan itu seakan menjadi harapan baru masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dengan tarif terjangkau dari rumah sakit plat merah tersebut.
Pernyataan Bria Seran seakan membuka tabir kebobrokan pelayanan di RSUD WZ Johannes selama ini. Ini menggambarkan bahwa RSUD WZ Johannes sebetulnya sedang sakit parah. Intitusi ini sakit karena kebijakan politik birokrasi yang mengandalkan rumah sakit sebagai salah satu sumber pemasukan daerah. Maka kinerja para pejabat yang ditempatkan di rumah sakit itu antara lain diukur dari seberapa besar pendapatan asli daerah (PAD) yang bisa mengalir ke kas daerah, bukan pada seberapa sukses ia meningkatkan kualitas layanan kesehatan.

Tanpa Kepentingan Politik
Namun di tengah pujian atas sikap Bria Seran ini, perlu pula diwanti-wanti apakah pernyataan itu tulus demi membela rakyat, atau ada maksud politis terselubung lainnya di balik itu. Jika sikap itu murni dan berdiri tanpa ada kepentingan tertentu maka itulah sikap pejabat publik yang benar-benar mau berjuang untuk kepentingan rakyat.
Beda pendapat Gubernur Lebu Raya dan Kepala Dinas Kesehatan Bria Seran ini mendapat perhatian DPRD NTT. Wakil Ketua Komisi D Jimmy Sianto mempersoalkan mengapa di saat Ranperda tentang Kenaikan Tarif Layanan RSUD Kupang sedang dibahas di Dewan, masih ada perbedaan sikap di tingkat eksekutif. Ranperda tersebut diusulkan oleh Gubernur dan Kadis Kesehatan NTT melontarkan pernyataan yang bertentangan, yakni tarif RSUD belum bisa naik sebelum kualitas layanan kesehatan ditingkatkan.
Padahal, sebelum diusulkan, Ranperda itu sudah dibahas di tingkat ekskeutuf, dan kadis Bria Seran ada di dalamnya sebelum akhirnya dibawa ke Dewan.
Komisi C DPRD NTT yang membidangi masalah kesejahteraan sosial, memutuskan untuk menunda pembahasan Ranperda tentang tarif layanan RSUD WZ Johannes Kupang karena tidak ingin penetapan Perda tarif rumah sakit milik Pemprov NTT tersebut, dibahas terburu-buru yang nantinya akan membebani dan menyusahkan masyarakat.
Namun, terlepas dari pro kontra di dalam tubuh Pemprov NTT, penundaan kenaikan tarif layanan itu setidaknya membuat lega masyarakat yang tengah dihimpit krisis pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Aktivis PMKRI Cabang Kupang Yuvensius Tukung mengatakan, tarif rumah sakit tidak layak untuk dinaikkan. Pemprov harus memahami benar kondisi atau keadaan ekonomi masyarakat, khususnya warga Kota Kupang dan sekitarnya yang bersentuhan langsung dengan pelayanan.
Rerencana menaikkan tarif pelayanan secara tidak langsung akan membatasi hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan terutama pasien yang tidak mampu.
Jika membedah kualitas pelayanan, Tukung melihat pelayanan di RSUD ini masih jauh dari harapan dan masuk kategori rumah sakit berpelayanan buruk.
Ia mengatakan, selama ini anggaran yang dikucurkan untuk sektor kesehatan sangat besar. Pengalokasiannya pun dominan di RSUD WZ Johannes ketimbang RSUD tingkat kabupaten/kota di NTT. Untuk itu,  Pemprov NTT harus memfokuskan perbaikan kualitas dan sistem pelayanan. “Perbaiki dulu kualitas pelayanannya. Jangan dulu omong soal kenaikkan tarif,” tegas Tukung.
Anita Gah, anggota DPR RI dari NTT yang membidangi kesehatan juga menyambut antusias penundaan kenaikan tarif layanan itu mengingat pelayanan sangat memprihatinkan. Pasien terkadang  masih mengalami penolakan karena RSUD tidak memiliki dokter spesialis dan terbatasnya infrastruktur rumah sakit.
Dengan kondisi seperti itu, masyarakat yang menderita. Padahal, masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal dari pemerintah. Untuk itu, dia meminta Pemprov NTT sebagai pemilik RSUD WZ Johannes agar membenahi kualitas pelayanannya.

hiero
@victorynews-media.com