13 Juni 2010

Peduli Pendidikan, LMND Sekot Ende Gelar Aksi Demo

* Sampaikan Lima Butir Pernyataan Sikap

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Massa mahasiswa yang tergabung di dalam Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Sekretariat Kota Ende kembali menggelar aksi demo. Aksi LMND kali ini sebagai bentuk keprihatinan mereka terhadap kondisi pendidikan baik berskala nasional maupun berskala daerah yang terjadi akhir-akhir ini.


Dalam aksi demo pada Selasa (4/5) kemarin, massa LMND bergerak dari kampus Universitas Flores. Sebelum bergerak menuju sejumlah titik aksi, massa terlebih dahulu menggelar orasi di halaman kampus Univlor. Massa lalu mulai berjalan kaki menuju sejumlah titik aksi dan sempat berdialog dengan anggota DPRD Ende.


LMND dalam pernyataan sikap mereka yang ditandatangani Koordinator Lapangan,Yulius Fanus Mari, mendukung langkah Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah membatalkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Namun LMND menyesalkan karena hingga pada Hari Pendidikan Nasional, keputusan MK yang merupakan buah hasil dari perjuangan para tokoh, organisasi mahasiswa dan rakyat serta penyelenggara pendidikan belum juga dilaksanakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Presiden SBY melalui Menteri Pendidikan Nasional, Muhamad Nuh masih enggan melaksanakan putusan MK tersebut. “Bagi LMND itu merupakan langkah politik SBY untuk melestarikan neoliberalisme di sektor pendidikan serta menjadi penghambat terwujudnya cita-cita nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” tegas Yulius Fanus Mari.


LMND dalam aksinya menilai, sebelum UU BHP ditetapkan, wajah pendidikan di Indonesia sudah cukup memprihatinkan. Data Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2007-2008sekitar 1,5 juta remaja Indonesia putus sekolah setiap tahun. “Itu berarti setiap satu menit ada empat remaja yang mengalami putus sekolah,” tegas Mari. Kondisi ini semakin memprihatinkan mengingat sebelumnya berdasarkan data dari Komnas Perlindungan anak yang dihimpun dari 33 provinsi telah terdapat 11,7 juta jumlah anak putus sekolah hingga tahun 2007.


LMND menilai, sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 60 dan 61 Tahun 1999 tentang BHMN, gelombang swastanisasi mulai merambah kampus. Sejak tahun 1999 diperkirakan kenaikan biaya kuliah mencapai 400 persen. Dengan biaya pendidikan yang naiki demikian besarnya itu, sangat mustahil bisa diakses oleh masyarakat kurang mampu.


Neoliberalisme di bidang, tegas Mari tidak terlepas dari persoalan umum bangsa Indonesia, permasalahan penjajahan baru yang memakai jubah neoliberalisme. Kondisi ini berdampak pada kehancuran industri dalam negeri dan memberi kontribusi pada pemutusan hubungan kerja dan memperpanjang barisan pengangguran di negeri ini. Menurutnya, data menunjukan bahwa jumlah lulusan sarjana yang menganggur melonjak drastis dari 183.629 pada tahun 2006 menjadi 409.890 pada tahun 2007. kondisi ini jika ditambah dengan lulusan diploma I, II dan III maka mencapai angka 740 ribu orang.


Terhadap fenomena yang ada, LMND Sekot Ende menyerukan lima butir tuntutan pernyataan sikap, pertama, menolak rencana pemerintah untuk membuat peraturan baru sebagai pengganti UU BHP dan membatalkan seluruh produk hukum yang berbau neoliberalisme di bidang pendidikan. Kedua, menuntut pencabutan seluruh peraturan pemerintah yang menjadi dasar pemberlakuan BHMN di tujuh Perguruan Tinggi Negeri BHMN. Tiga, menuntut peran negara untuk terlibat aktif dalam membangun dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Keempat, menuntut pemerintah untuk menaikan anggaran untuk pendidikan dan proses-proses penelitian ilmiah dan kelima, menuntut pemerintah untuk mengambil alih kontrol terhadap sumber daya alam dan perusahaan vital untuk ditransver pada program pedidikan gratis untuk rakyat.


Gerson, anggota aksi dari LMND menilai bahwa terhadap persentase kelulusan yang begitu rendah, hal itu terjadi karena kesalahan sistem. Sistem kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah sama sekali tidak baik dan kurang dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Dia menolak jika dikatakan bahwa rendahnya persentase kelulusan yang terjadi itu diakibatkan karena siswa yang kurang mempersiapkan diri dalam menghadapi ujian nasional. Sangat tidak beralasan, lanjut Gerson karena jika dikatakan karena siswa tidak belajar. “Apakah dalam satu sekolah dengan siswa 100 lebih itu semuanya tidak belajar sehingga semuanya tidak lulus? Ini tidak masuk akal,” kata Gerson.

Tidak ada komentar: